Minggu, 19 September 2010

WEWENANG NEGARA DALAM HUKUMAN MATI

Oleh: Rony Saputra, S.H.
[Penulis adalah seoarang Advokat dan Staff LBH Padang Divisi HAM]
 Persoalan pidana mati sepertinya tidak akan pernah habis untuk diperdebatkan karena akan selalu mengundang pro dan kontra dengan berbagai argumen serta keahlian baik berdasarkan kajian filosofis, sosiologis maupun yuridis.
Di Indonesia sendiri pertarungan ahli yang sepakat dengan pidana mati dengan yang tidak sepakat dengan pidana mati juga telah lama terjadi dan kembali menguat pada tahun 2007 ketika terjadi eksekusi mati terhadap napi dengan label ‘Terpidana Mati’ diantaranya Robot Gedek terpidana mati kasus pelecehan seksual terhadap beberapa orang anak laki-laki lalu dibunuh, Ayodha Prasad Chabey warga India yang tertangkap membawa heroin seberat 12,5 Kg dari Bangkok menuju Indonesia dan Tibo Cs yang diduga menjadi pelaku terorisme di Sulawesi Tenggara. Protes masyarakat atas eksekusi mati ini tidak hanya persoalan tidak setuju dengan pidana mati, tetapi waktu yang begitu lama (lebih dari 10 Tahun) baru seseorang itu dieksekusi sehingga menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan. Lain halnya dengan kasus Tibo Cs, masyarakat berpendapat bahwa pengadilan telah salah memutus.
Wacana mengenai pidana mati di Indonesia kembali menghangat ketika Pemerintah Indonesia melalui eksekutor negara bernama Jaksa mengeksekusi mati tiga orang terpidana mati yaitu Dukun AS di Medan di eksekusi pada malam hari ketika pengacaranya mengajukan Grasi ke-2,Sumiarsih dan Sugeng dieksekusi ketika ia meminta kepada Negara untuk dipertemukan dengan Gusdur. Dan masih tersisa 40-an lebih calon orang-orang yang akan di cabut nyawanya oleh negera (daftar tunggu) termasuk didalamnya sang Fenomenal Amrozi Cs.
Pidana mati di Indonesia memang masih menjadi suatu pilihan yang wajib dilaksanakan, walaupun didalam pasal 28a UUD 1945 ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan dipertegas dengan pasal 28 I UUD 1945 berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Jelas UUD merupakan ketentuan tertinggi dalam suatu negara hukum di Indonesia dan tidak ada ketentuan lain yang dapat mengenyampingkannya. Tetapi pada kenyataannya Negara melalui pemerintah tetap melakukan ‘pembangkangan’ dengan jalan mendiskreditkan pasal 28 j UUD 1945 yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Pengertian yang dapat diambil dalam pembatasan pasal 28 j UUD sebatas memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Arti kata, apakah ketika seseorang melakukan pembuhuhan, pada dirinya juga harus dijatuhkan hukuman mati (dibunuh oleh negara), jika posisinya memang seperti itu, kenapa proses pemidanaan tidak diserahkan saja sesuai mekanisme hukum alam? (Darah bayar Darah).
Sebagai negara Hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat serta Hak Asasi Manusia, maka sudah sepatutnya, hukuman mati yang merupakan penjelmaan dari sifat balas dendam sudah harus dihapuskan, apalagi Indonesia yang tercatat sebagai anggota tidak tetap dewan PBB yang telah meratifikasi International Convenan Civil and Politic Right (ICCPR), seharusnya Indonesia sudah menghapuskan keberadaan hukuman mati dalam Kitab peraturan perundang-undangan.
Penegasan penghapusan pidana mati ini terdapat dalam protokol Opsional kedua yang ditujukan terhadap penghapusan pidana mati(Ditetapkan oleh resolusi Majelis Umum 44/128 tertanggal 15 Desember 1989), pada pasal 1-nya menyebutkan ayat (1) “Tidak seorangpun dalam wilayah hukum Negara-negara Pihak pada Protokol ini dapat dihukum mati”, ayat (2) “Setiap Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghapuskan hukuman mati di dalam wilayah hukumnya”.
Berkaitan dengan pembatasan terhadap pidana mati disebutkan pada pasal 2 yang berbunyi “Pembatasan tidak diperkenankan pada Protokol ini, kecuali pembatasan yang dilakukan pada saat ratifikasi atau aksesi yang mengatur tentang pemberlakuan hukuman mati pada saat perang, berdasarkan keyakinanbahwa suatu kejahatan militer telah dilakukan pada masa peperangan”.
Dengan diratifikasinya konvenan diatas, maka Indonesia harus telah menuju kepada penghapusan terhadap penggunaan instrumen pidana mati di setiap peraturan perundang-undangan yang ada. Sehingga tidak lagi memunculkan polemik baru dalam penerapan hukum terutama Pidana..
Dalam hukum positif Indonesia masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati misalnya Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden), Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang), Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang), Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut), Pasal 340 (pembunuhan berencana), Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati), Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati), Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian), beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya diantaranya Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa, Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi, Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No.. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, Pasal 13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi.
Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom, Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia dan UU Tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Salah satu ahli hukum Indonesia yang menjadi penentang pidana mati adalalah J.E Sahetapy Dalam desertasinya yang berjudul Suatu Studi Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, beliau memberikan hipotesa, (1) Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP dewasa ini dalam praktek merupakan suatu ketentuan abolisi de facto, (2) Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP tidak akan mengenai sasarannya selama ada berapa faktor seperti lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga grasi, kebebasan hakim dan "shame culture" dan (3) Dari segi kriminologi sangat diragukan manfaat pidana mati
Berdasarkan hal itu, perlu dicermati bahwa dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang sangat mungkin terjadi kesalahan terutama oleh hakim, terlebih dalam keadaan penegakan hukum di Indonesia yang masih perlu dipertanyakan. Kita tidak bisa berharap sebuah keputusan yang adil dalam dunia peradilan yang masih korup.
Perlu dicatat sepanjang masih ada instrumen hukum yang memberikan ancaman pidana mati, maka sepanjang itu pula penjatuhan pidana mati dan potensi penolakan grasi oleh Presiden sangat terbuka. Oleh sebab itu sebaiknya perjuangan untuk menghapuskan pidana mati harus dibarengi dengan upaya untuk melakukan review terhadap seluruh instrumen hukum yang mencantumkan klausula ancaman pidana mati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar