Minggu, 19 September 2010

SKENARIO KPK TANPA PENGADILAN TIPIKOR

Oleh: Andi Wahyu W
[Penulis adalah Praktisi dan Konsultan Hukum]
 Sistem Peradilan Pidana Khusus.
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki tiga fungsi utama dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama; fungsi pencegahan. Kedua fungsi; supervisi dan koordinasi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga; fungsi penindakan. Fungsi penindakan ini meliputi; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (pasal 6 huruf c UU KPK). Sebagai kelanjutan dari fungsi tersebut pembentuk undang-undang menetapkan adanya pengadilan tindak pidana korupsi (Pengadilan Tipikor) yang berwenang memutus perkara yang diajukan oleh KPK. (pasal 53 UU KPK). Ketentuan pasal 53 tersebut menegaskan bahwa hanya Pengadilan Tipikor yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK, selain Pengadilan Tipikor tidak ada pengadilan yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK. Jika pasal 6 huruf c UU KPK dikaitkan dengan pasal 53 UU KPK, nampak bahwa UU KPK menghendaki sistem peradilan pidana (penyidikan, penuntutan, pengadilan) yang khusus mengadili tindak pidana korupsi. Dua pasal tersebut juga menunjukan bahwa KPK sesungguhnya merupakan sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi.
Pembentuk Undang-Undang KPK memang berniat mengkonstruksikan suatu bangunan sistem peradilan pidana yang khusus tindak pidana korupsi. Niatan tersebut tidak lain sebagai upaya meneruskan visi dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat pegiat reformasi hukum. Visi dan aspirasi tersebut pada intinya, tidak mempercayai sistem peradilan pidana yang ada untuk memberantas tindak pidana korupsi. Padahal, korupsi telah terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas (Penjelasan UU No 20/2001).
Tanpa Pengadilan Tipikor.
Pengadilan Tipikor terancam bubar secara hukum karena putusan Mahkamah Konstutusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, yang memerintahkan pembentuk undang-undang agar paling lambat tiga tahun membentuk undang-undang tentang pengadilan Tipikor. Dengan demikian, status konstitusionalitas Pengadilan Tipikor lebih terjamin. Sementara ini keberadaan Pengadilan Tipikor diatur “dalam undang-undang” yaitu Pasal 53 UU KPK, padahal keharusan konstitusi menyatakan keberadaan badan peradilan di bawah MA diatur “dengan undang-undang” (lihat Pasal 24A UUD 1945). Inilah peraturan perundang-undangan, hanya beda kata “dalam” dengan kata “dengan” menimbulkan implikasi serius, padahal hakekatnya sama yaitu berdasarkan undang-undang dan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur pembentukan badan peradilan dibawah MA. MK melalui putusan tersebut diatas, telah menyeimbangkan aspek kepastian hukum (rechmatigheid) dengan kemanfaatan hukum (doelmatigheid). MK. Pada satu sisi MK mengajak untuk berdisplin dalam berkonstitusi dan pada sisi lain (kepastian hukum), MK memberikan tenggat waktu berlakunya Pengadilan Tipikor (kemanfaatan hukum).
Jika tenggat waktu tiga tahun telah habis, secara demi hukum, Pengadilan Tipikor bubar. Bubarnya Pengadilan Tipikor membawa akibat hilangnya fungsi KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi. KPK tidak lagi bisa melakukan penindakan dalam bentuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, karena tiga kegiatan tersebut tidak ada lagi pengadilan yang bisa memutus perkara hasil kerja penindakan oleh KPK. KPK kemudian hanya bisa menjalankan fungsi yang lain, yaitu supervisi dan koordinasi serta pencegahan. Pertanyaannya, apakah sistem peradilan pidana sudah sepenuhnya bisa terpercaya melakukan proses peradilan pada pelaku tindak pidana korupsi ? Apakah efektif dua fungsi KPK selain fungsi sistem peradilan pidana untuk pemberantasan tindak pidana korupsi ? Sekaligus, mengapa DPR sebagai pembentuk undang-undang belum juga membuat Undang-Undang Tipikor sementara tenggat waktu sudah mau habis, tinggal hitungan bulan.
Pertanyaan diatas perlu dijawab oleh DPR RI sebagai pembentuk undang-undang. Apakah langkah DPR tidak segera membentuk Undang-Undang Tipikor merupakan pernyataan politik secara tidak langsung yang menjawab dua pertanyaan diatas. Apakah langkah DPR tersebut merupakan sinyal sikap DPR bahwa dua fungsi KPK selain KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus sudah cukup bagi KPK dan sistem peradilan pidana yang ada sudah terpercaya untuk melakukan proses pada pelaku tindak pidana korupsi. Jika benar sikap DPR seperti itu, berarti ada politik hukum pembentuk undang-undang yang menghendaki KPK tanpa Pengadilan Tipikor. Meskipun Presiden bisa mengeluarkan Perpu Pembentukan Pengadilan Tipikor sebagai ganti UU yang tidak keluar, namun Perpu tersebut juga akan batal jika DPR pada tiba waktu menolak Perpu tersebut. Jadi persoalannya adalah sikap politik hukum pembentuk undang-undang, apakah menghendaki fungsi sistem peradilan pidana pada KPK atau tidak.
Skenario Alternatif.
Jika kita andaikan sikap pembentuk undang-undang memang tidak berkehendak adanya fungsi KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus, Perpu bukanlah solusi karena Perpu tersebut akan bisa dibatalkan oleh DPR (lihat Pasal 22 UUD 1945). Harus ada solusi lain. Solusi alternatif adalah mencegah kemudloratan yang lebih besar, dengan mencari jalan tengah antara kehendak KPK tanpa Pengadilan Tipikor dengan KPK harus tetap berfungsi sebagai sistem peradilan pidana. Caranya, dengan mengamandemen pasal 53 UU KPK. Dalam amandemen tersebut, pengadilan umum bisa memutus perkara yang diajukan oleh KPK. Dengan demikian, KPK separuh dirinya, masuk dalam sistem peradilan pidana yang sudah ada. Kita masih bisa berharap mendapatkan putusan yang baik mengingat hakim agung telah terseleksi secara transparan dan akuntabel. Meskipun cara ini merupakan kemunduran politik hukum pemberantasan korupsi, tapi ya itulah, bad politic bad law

Tidak ada komentar:

Posting Komentar