Selasa, 21 September 2010

KAMUS INTERNET A-Z

Kamus Istilah Internet

A | B | C | D | E | F | G | H | I | J | K | L | M | N | O | P | Q | R | S | T | U | V | W | X | Y | Z

A
ADN - Advanced Digital Network. Biasanya merujuk kepada saluran leased line berkecepatan 56Kbps.

ADSL - Asymetric Digital Subscriber Line. Sebuah tipe DSL dimana upstream dan downstream berjalan pada kecepatan yang berbeda. Dalam hal ini, downstream biasanya lebih tinggi. Konfigurasi yang umum memungkinkan downstream hingga 1,544 mbps (megabit per detik) dan 128 kbps (kilobit per detik) untuk upstream. Secara teori, ASDL dapat melayani kecepatan hingga 9 mbps untuk downstream dan 540 kbps untuk upstream.

Anonymous FTP - Situs FTP yang dapat diakses tanpa harus memiliki login tertentu. Aturan standar dalam mengakses Anonymous FTP adalah dengan mengisikan "Anonymous" pada isian Username dan alamat email sebagai password.

ARPANet - Advanced Research Projects Agency Network. Jaringan yang menjadi cikal-bakal terbentuknya Internet. Dibangun pada akhir dasawarsa 60-an hingga awal dasawarsa 70-an oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat sebagai percobaan untuk membentuk sebuah jaringan berskala besar (WAN) yang menghubungkan komputer-komputer di berbagai lokasi dengan sistem yang berbeda-beda pula namun dapat diakses sebagai sebuah kesatuan untuk dapat saling memanfaatkan resource masing-masing.

ASCII - American Standard Code for Information Interchange. Standar yang berlaku di seluruh dunia untuk kode berupa angka yang merepresentasikan karakter-karakter, baik huruf, angka, maupun simbol yang digunakan oleh komputer. Terdapat 128 karakter standar ASCII yang masing-masing direpresentasikan oleh tujuh digit bilangan biner mulai dari 0000000 hingga 1111111.

B
Backbone - Jalur berkecepatan tinggi atau satu seri koneksi yang menjadi jalur utama dalam sebuah network.

Bandwidth - Besaran yang menunjukkan seberapa banyak data yang dapat dilewatkan dalam koneksi melalui sebuah network.

Binary - Biner. Yaitu informasi yang seluruhnya tersusun atas 0 dan 1. Istilah ini biasanya merujuk pada file yang bukan berformat teks, seperti halnya file grafis.

Bit - BInary digiT. Satuan terkecil dalam komputasi, terdiri dari sebuah besaran yang memiliki nilai antara 0 atau 1.

bps - Bit Per Seconds. Ukuran yang menyatakan seberapa cepat data dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain.

Browser - Sebutan untuk perangkat lunak (software) yang digunakan untuk mengakses World Wide Web

Byte - Sekumpulan bit yang merepresentasikan sebuah karakter tunggal. Biasanya 1 byte akan terdiri dari 8 bit, namun bisa juga lebih, tergantung besaran yang digunakan.

C
CGI - Common Gateway Interface. Sekumpulan aturan yang mengarahkan bagaimana sebuah server web berkomunikasi dengan sebagian software dalam mesin yang sama dan bagaimana sebagian dari software (CGI Program) berkomunikasi dengan server web. Setiap software dapat menjadi sebuah program CGI apabila software tersebut dapat menangani input dan output berdasarkan standar CGI.

cgi-bin
- Nama yang umum digunakan untuk direktori di server web dimana program CGI disimpan.

Chat
- Secara harfiah, chat dapat diartikan sebagai obrolan, namun dalam dunia internet, istilah ini merujuk pada kegiatan komunikasi melalui sarana baris-baris tulisan singkat yang diketikkan melalui keyboard.

D
DNS - Domain Name Service. Merupakan layanan di Internet untuk jaringan yang menggunakan TCP/IP. Layanan ini digunakan untuk mengidentifikasi sebuah komputer dengan nama bukan dengan menggunakan alamat IP (IP address). Singkatnya DNS melakukan konversi dari nama ke angka. DNS dilakukan secara desentralisasi, dimana setiap daerah atau tingkat organisasi memiliki domain sendiri. Masing-masing memberikan servis DNS untuk domain yang dikelola.

DSL - Digital Subscriber Line. Sebuah metode transfer data melalui saluran telepon reguler. Sirkuit DSL dikonfigurasikan untuk menghubungkan dua lokasi yang spesifik, seperti halnya pada sambungan Leased Line (DSL berbeda dengan Leased Line). Koneksi melalui DSL jauh lebih cepat dibandingkan dengan koneksi melalui saluran telepon reguler walaupun keduanya sama-sama menggunakan kabel tembaga. Konfigurasi DSL memungkinkan upstream maupun downstream berjalan pada kecepatan yang berbeda (lihat ASDL) maupun dalam kecepatan sama (lihat SDSL). DSL menawarkan alternatif yang lebih murah dibandingkan dengan ISDN.

Download - Istilah untuk kegiatan menyalin data (biasanya berupa file) dari sebuah komputer yang terhubung dalam sebuah network ke komputer lokal. Proses download merupakan kebalikan dari upload.

Downstream - Istilah yang merujuk kepada kecepatan aliran data dari komputer lain ke komputer lokal melalui sebuah network. Istilah ini merupakan kebalikan dari upstream.

E
Email - Electronic Mail. Pesan, biasanya berupa teks, yang dikirimkan dari satu alamat ke alamat lain di jaringan internet. Sebuah alamat email yang mewakili banyak alamat email sekaligus disebut sebagai mailing list. Sebuah alamat email biasanya memiliki format semacam username@host.domain, misalnya: myname@mydomain.com.

F
Firewall - Kombinasi dari hardware maupun software yang memisahkan sebuah network menjadi dua atau lebih bagian untuk alasan keamanan.

FTP - File Transfer Protocol. Protokol standar untuk kegiatan lalu-lintas file (upload maupun download) antara dua komputer yang terhubung dengan jaringan internet. Sebagian sistem FTP mensyaratkan untuk diakses hanya oleh mereka yang memiliki hak untuk itu dengan mengguinakan login tertentu. Sebagian lagi dapat diakses oleh publik secara anonim. Situs FTP semacam ini disebut Anonymous FTP.

G
Gateway - Dalam pengertian teknis, istilah ini mengacu pada pengaturan hardware maupun software yang menterjemahkan antara dua protokol yang berbeda. Pengertian yang lebih umum untuk istilah ini adalah sebuah mekanisme yang menyediakan akses ke sebuah sistem lain yang terhubung dalam sebuah network.

GPRS - General Packet Radio Service. Salah satu standar komunikasi wireless (nirkabel). Dibandingkan dengan protokol WAP, GPRS memiliki kelebihan dalam kecepatannya yang dapat mencapai 115 kbps dan adanya dukungan aplikasi yang lebih luas, termasuk aplikasi grafis dan multimedia.

H
Home Page/Homepage - Halaman muka dari sebuah situs web. Pengertian lainnya adalah halaman default yang diset untuk sebuah browser.

Host
- Sebuah komputer dalam sebuah network yang menyediakan layanan untuk komputer lainnya yang tersambung dalam network yang sama.

HTML - Hypertext Markup Language, merupakan salah satu varian dari SGML yang dipergunakan dalam pertukaran dokumen melalui protokol HTTP.

HTTP - Hyper Text Transfer Protocol. Protokol yang didisain untuk mentransfer dokumen HTML yang digunakan dalam World Wide Web.

HTTPD
- Lihat World Wide Web.

I
IMAP - Internet Message Access Protocol. Protokol yang didisain untuk mengakses e-mail. protokol lainnya yang sering digunakan adalah POP.

Internet - Sejumlah besar network yang membentuk jaringan inter-koneksi (Inter-connected network) yang terhubung melalui protokol TCP/IP. Internet merupakan kelanjutan dari ARPANet dan kemungkinan merupakan jaringan WAN yang terbesar yang ada saat ini.

Intranet - Sebuah jaringan privat dengan sistem dan hirarki yang sama dengan internet namun tidak terhubung dengan jaringan internet dan hanya digunakan secar internal.

IP Address - Alamat IP (Internet Protocol), yaitu sistem pengalamatan di network yang direpresentasikan dengan sederetan angka berupa kombinasi 4 deret bilangan antara 0 s/d 255 yang masing-masing dipisahkan oleh tanda titik (.), mulai dari 0.0.0.1 hingga 255.255.255.255.

ISDN - Integrated Services Digital Network. Pada dasarnya, ISDN merupakan merupakan jalan untuk melayani transfer data dengan kecepatan lebih tinggi melalui saluran telepon reguler. ISDN memungkinkan kecepatan transfer data hingga 128.000 bps (bit per detik). Tidak seperti DSL, ISDN dapat dikoneksikan dengan lokasi lain seperti halnya saluran telepon, sepanjang lokasi tersebut juga terhubung dengan jaringan ISDN.

ISP
- Internet Service Provider. Sebutan untuk penyedia layanan internet.

L
Leased Line - Saluran telepon atau kabel fiber optik yang disewa untuk penggunaan selama 24 jam sehari untuk menghubungkan satu lokasi ke lokasi lainnya. Internet berkecepatan tinggi biasanya menggunakan saluran ini.

Login - Pengenal untuk mengakses sebuah sistem yang tertutup, terdiri dari username (juga disebut login name) dan password (kata kunci).

M
Mailing List - Juga sering diistilahkan sebagai milis, yaitu sebuah alamat email yang digunakan oleh sekelompok pengguna internet untuk melakukan kegiatan tukar menukar informasi. Setiap pesan yang dikirimkan ke alamat sebuah milis, secara otomatis akan diteruskan ke alamat email seluruh anggotanya. Milis umumnya dimanfaatkan sebagai sarana diskusi atau pertukaran informasi diantara para anggotanya.

MIME
- Multi Purpose Internet Mail Extensions. Ekstensi email yang diciptakan untuk mempermudah pengiriman berkas melalui attachment pada email.

MTA - Mail Transport Agent. Perangkat lunak yang bekerja mengantarkan e-mail kepada user. Adapun program untuk membaca e-mail dikenal dengan istilah MUA (Mail User Agent).

MUA
- Lihat MTA.

N
Network - Dalam terminologi komputer dan internet, network adalah sekumpulan dua atau lebih sistem komputer yang digandeng dan membentuk sebuah jaringan. Internet sebenarnya adalah sebuah network dengan skala yang sangat besar.

NNTP - Network News Transfer Protocol. protokol yang digunakan untuk mengakses atau transfer artikel yang diposkan di Usenet news. Program pembaca news (news reader) menggunakan protokol ini untuk mengakses news. NNTP bekerja di atas protokol TCP/IP dengan menggunakan port 119.

Node - Suatu komputer tunggal yang tersambung dalam sebuah network.

P
Packet Switching - Sebuah metode yang digunakan untuk memindahkan data dalam jaringan internet. Dalam packet switching, seluruh paket data yang dikirim dari sebuah node akan dipecah menjadi beberapa bagian. Setiap bagian memiliki keterangan mengenai asal dan tujuan dari paket data tersebut. Hal ini memungkinkan sejumlah besar potongan-potongan data dari berbagai sumber dikirimkan secara bersamaan melalui saluran yang sama, untuk kemudian diurutkan dan diarahkan ke rute yang berbeda melalui router.

PERL - Sebuah bahasa pemrograman yang dikembangkan oleh Larry Wall yang sering dipakai untuk mengimplementasikan script CGI di World Wide Web. Bahasa Perl diimplementasikan dalam sebuah interpreter yang tersedia untuk berbagai macam sistem operasi, diantaranya Windows, Unix hingga Macintosh.

POP - Post Office Protocol. Protokol standar yang digunakan untuk mengambil atau membaca email dari sebuah server. protokol POP yang terakhir dan paling populer digunakan adalah POP3. protokol lain yang juga sering digunakan adalah IMAP. Adapun untuk mengirim email ke sebuah server digunakan protokol SMTP.

PPP - Point to Point Protocol. Sebuah protokol TCP/IP yang umum digunakan untuk mengkoneksikan sebuah komputer ke internet melalui saluran telepon dan modem.

Protokol - Protocol. Seperangkat aturan yang mengatur secara tepat format komunikasi antar sistem. Sebagai contoh, protokol HTTP mengatur format komunikasi antara browser web dan browser server. Protokol IMAP mengatur format komunikasi antara server email IMAP dengan klien.

PSTN - Public Switched Telephone Network. Sebutan untuk saluran telepon konvensional yang menggunakan kabel.

R
RFC - Request For Comments. Sebutan untuk hasil dan proses untuk menciptakan sebuah standar dalam internet. Sebuah standar baru diusulkan dan dipublikasikan di internet sebagai sebuah Request For Comments. Proposal ini selanjutnya akan di-review oleh Internet Engineering Task Force (IETF), sebuah badan yang mengatur standarisasi di internet. Apabila standar tersebut kemudian diaplikasikan, maka ia akan tetap disebut sebagai RFC dengan referensi berupa nomor atau nama tertentu, misalnya standar format untuk email adalah RFC 822.

Router - Sebuah komputer atau paket software yang dikhususkan untuk menangani koneksi antara dua atau lebih network yang terhubung melalui packet switching. Router bekerja dengan melihat alamat tujuan dan alamat asal dari paket data yang melewatinya dan memutuskan rute yang harus digunakan oleh paket data tersebut untuk sampai ke tujuan.

S
SDSL - Symmetric Digital Subscriber Line. Salah satu tipe DSL yang memungkinkan transfer data untuk upstream maupun downstream berjalan pada kecepatan yang sama. SDSL umumnya berkerja pada kecepatan 384 kbps (kilobit per detik).

SGML - Standard Generalized Markup Language. Nama populer dari ISO Standard 8879 (tahun 1986) yang merupakan standar ISO (International Organization for Standarization) untuk pertukaran dokumen secara elektronik dalam bentuk hypertext.

SMTP - Simple Mail Transfer Protocol. Protokol standar yang digunakan untuk mengirimkan email ke sebuah server di jaringan internet. Untuk keperluan pengambilan email, digunakan protokol POP.

SSH - Secure Shell. Protokol pengganti Telnet yang memungkinkan akses yang lebih secure ke remote-host.

T
TCP/IP - Transmission Control Protocol/Internet Protocol. Satu set protokol standar yang digunakan untuk menghubungkan jaringan komputer dan mengalamati lalu lintas dalam jaringan. protokol ini mengatur format data yang diijinkan, penanganan kesalahan (error handling), lalu lintas pesan, dan standar komunikasi lainnya. TCP/IP harus dapat bekerja diatas segala jenis komputer, tanpa terpengaruh oleh perbedaan perangkat keras maupun sistem operasi yang digunakan.

Telnet - Perangkat lunak yang didesain untuk mengakses remote-host dengan terminal yang berbasis teks, misalnya dengan emulasi VT100. Penggunaan Telnet sangat rawan dari segi sekuriti. Saat ini penggunaan Telnet telah digantikan oleh protokol SSH dengan tingkat keamanan yang lebih baik.

U
UDP - User Datagram Protocol. Salah satu protokol untuk keperluan transfer data yang merupakan bagian dari TCP/IP. UDP merujuk kepada paket data yang tidak menyediakan keterangan mengenai alamat asalnya saat paket data tersebut diterima.

Upload - Kegiatan pengiriman data (berupa file) dari komputer lokal ke komputer lainnya yang terhubung dalam sebuah network. Kebalikan dari kegiatan ini disebut download.

Upstream - Istilah yang merujuk kepada kecepatan aliran data dari komputer lokal ke komputer lain yang terhubung melalui sebuah network. Istilah ini merupakan kebalikan dari downstream.

URI - Uniform Resource Identifier. Sebuah alamat yang menunjuk ke sebuah resource di internet. URI biasanya terdiri dari bagian yang disebut skema (scheme) yang diikuti sebuah alamat. URI diakses dengan format skema://alamat.resource atau skema:alamat.resource. Misalnya, URI http://yahoo.com menunjukkan alamat resource yahoo.com yang dipanggil lewat skema HTTP Walaupun HTTP adalah skema yang sering digunakan, namun masih tersedia skema-skema lain, misalnya telnet, FTP, News, dan sebagainya.

URL - Uniform Resource Locator. Istilah ini pada dasarnya sama dengan URI, tetapi istilah URI lebih banyak digunakan untuk menggantikan URL dalam spesifikasi teknis.

Usenet - Usenet news, atau dikenal juga dengan nama "Net news", atau "news" saja, merupakan sebuah buletin board yang sangat besar dan tersebar di seluruh dunia yang dapat digunakan untuk bertukar artikel. Siapa saja dapat mengakses Usenet news ini dengan program-program tertentu, yang biasanya disebut newsreader. Akses ke server news dapat dilakukan dengan menggunakan protokol NNTP atau dengan membaca langsung ke direktori spool untuk news yaitu direktori dimana artikel berada (cara terakhir ini sudah jarang dilakukan).

UUENCODE - Unix to Unix Encoding. Sebuah metode untuk mengkonfersikan file dalam format Biner ke ASCII agar dapat dikirimkan melalui email.

V
VOIP - Voice over IP. VoIP adalah suatu mekanisme untuk melakukan pembicaraan telepon (voice) dengan menumpangkan data dari pembicaraan melalui Internet atau Intranet (yang menggunakan teknologi IP).

VPN - Virtual Private Network. Istilah ini merujuk pada sebuah network yang sebagian diantaranya terhubung dengan jaringan internet, namun lalu lintas data yang melalui internet dari network ini telah mengalami proses enkripsi (pengacakan). Hal ini membuat network ini secara virtual "tertutup" (private).

W
WAP - Wireless Application Protocol. Standar protokol untuk aplikasi wireless (seperti yang digunakan pada ponsel). WAP merupakan hasil kerjasama antar industri untuk membuat sebuah standar yang terbuka (open standard). WAP berbasis pada standar Internet, dan beberapa protokol yang sudah dioptimasi untuk lingkungan wireless. WAP bekerja dalam modus teks dengan kecepatan sekitar 9,6 kbps. Belakangan juga dikembangkan protokol GPRS yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan WAP.

Webmail - Fasilitas pengiriman, penerimaan, maupun pembacaan email melalui sarana web.

WML - Wireless Markup Language. Salah satu turunan dari format HTML yang khusus dikembangkan untuk dipakai pada protokol WAP.

World Wide Web - Sering disingkat sebagai WWW atau "web" saja, yakni sebuah sistem dimana informasi dalam bentuk teks, gambar, suara, dan lain-lain dipresentasikan dalam bentuk hypertext dan dapat diakses oleh perangkat lunak yang disebut browser. Informasi di web pada umumnya ditulis dalam format HTML. Informasi lainnya disajikan dalam bentuk grafis (dalam format GIF, JPG, PNG), suara (dalam format AU, WAV), dan objek multimedia lainnya (seperti MIDI, Shockwave, Quicktime Movie, 3D World). WWW dijalankan dalam server yang disebut HTTPD.

X
XML - Extensible Markup Language. Pengembangan lebih lanjut dari format HTML yang digunakan dalam World Wide Web. XML memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan HTML, diantaranya dokumen lebih terstruktur, memungkinkan manipulasi tampilan data tanpa harus berhubungan dengan webserver, serta pertukaran data antar dokumen.

ISTILAH DALAM INTERNET DAN PERANGKAT LUNAK

Daftar istilah Internet Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Istilah Internet Indonesia adalah istilah-istilah yang diserap dari bahasa asing karena kemajuan teknologi internet. Mayoritas istilah-istilah tersebut adalah berasal dari bahasa Inggris Amerika, karena dipandang memiliki kekayaan kosakata internet yang paling luas.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Terjemahan

Terjemahan istilah-istilah internet dan komputer seringkali menyisakan kesulitan sendiri bagi para ahli bahasa dikarenakan ilmu komputer dan internet merupakan teknologi baru yang terus menerus berkembang dan menciptakan istilah-istilah baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam ilmu linguistik. Oleh karena itu tidak jarang terjemahan langsung suatu istilah terasa janggal untuk diucapkan maupun ditulis. Sebagai contoh istilah cookie terasa janggal bila diterjemahkan menjadi 'roti' dalam bahasa Indonesia. Penerjemah-penerjemah harus berusaha sesetia mungkin dengan makna aslinya dengan tidak membuat padanan istilah yang tidak akan dipakai oleh pengguna-pengguna yang terbiasa dengan istilah di dalam bahasa lain.
Banyak dari istilah-istilah internet dan komputer yang memiliki sejarah panjang yang membuat makna kata sesungguhnya kabur, sebagai contoh adalah nama-nama merek terkenal yang seringkali mengambil dari kosakata bahasa di mana perusahaan tersebut berada. Dengan demikian, istilah-istilah yang sudah bercampur dengan kebudayaan dan sejarah suatu bangsa akan semakin sulit diterjemahkan ke dalam budaya yang sama sekali berlainan dan tidak memiliki sejarah internet dan komputer yang sama panjangnya. Sebagai contoh dalam hal ini adalah istilah desktop sama sekali tidak ada hubungannya dengan 'meja' ataupun 'permukaan' di dalam bahasa Indonesia.
Perhatikan bahwa tidak semua istilah dalam artikel ini merupakan istilah resmi seperti yang ditetapkan pemerintah Indonesia.

[sunting] Istilah internet

  • about = ihwal
  • account = akun
  • attachment = lampiran
  • bandwidth = lebar pita
  • bookmarks = tandai
  • broadband = pita lebar, jalur lebar
  • browser = peramban, penjelajah
  • bulletin board = papan buletin
  • chat = obrol, obrolan, rumpi
  • crash = bertabrakan (biasa untuk perangkat lunak/keras bermasalah)
  • collission = tabrakan data
  • connection = sambungan
  • copy = salin, kopi, ganda
  • cut = potong
  • cyberspace = dunia maya
  • database = pangkalan data, basis data
  • delete/del = hapus
  • device = perangkat
  • domain = ranah
  • download = ambil data, unduh, muat turun
  • edit = sunting, ubah
  • e-mail = imel, ratel / surel / surat-e (surat elektronik), posel (pos elektronik), surat digital
  • forward/fwd (e-mail) = terusan
  • home = beranda
  • homepage = laman
  • hosting = hosting
  • interferensi = gangguan signal (berkaitan dengan signal wireless)
  • install = instalasi pasang
  • interface = antarmuka
  • keyword = kata kunci
  • lag = lambat
  • link = taut, kait, pautan, pranala
  • load = muat
  • login / log in / log on / logon = log masuk, masuk log, lihat sign in
  • logout / log out / log off / logoff = log keluar, keluar log, lihat sign out
  • network = jaringan
  • newsgroup = kelompok warta, kelompok diskusi
  • mailing list = milis, senarai, forum ratel
  • network = jaringan
  • networking = jejaring
  • off line = tidak terhubung, terputus, luring (luar jaringan)
  • online / on line = terhubung, tersambung, daring (dalam jaringan)
  • passphrase = frase sandi, kalimat sandi
  • password = kata sandi
  • paste = tempel, rekatkan
  • preview = pratonton, pratilik, pratayang
  • internet service provider = penyelenggara jasa internet
  • save = simpan
  • scan = pindai
  • setting = pengaturan
  • server = peladen
  • share / sharing = berbagi
  • sign in / signin / sign on = catat masuk, lihat login
  • sign out / sign off = catat keluar, lihat logout
  • site = situs
  • surfing = berselancar, selancar maya
  • update = pemutakhiran, pembaruan
  • upload = unggah, muat naik
  • user = pengguna
  • username = nama pengguna
  • virtual reality = realitas maya
  • webpage = halaman web
  • website = situs web
  • wireless = nirkabel

[sunting] Istilah lain

  • japri, (jalur pribadi) biasanya istilah ini muncul di forum umum seperti milis atau web forum, kata japri digunakan oleh seseorang yang menghendaki komunikasi dilaksakanan melalui jalur pribadi, biasanya mengacu pada media email.
  • jalum atau jarum, (jalur umum)
  • jambat, (jalur lambat)
  • jamban, (jalur lamban)
  • jambat, dapat dimengerti sebagai "tarik".
  • pertamax, yang pertama memberi komentar atau mereply thread di forum (sangat populer di Kaskus)
  • junk, merujuk pada hal yang tak berguna di internet.
  • Pejwan, merujuk pada halaman pertama dari suatu thread. (Dari bahasa inggris, page one)
  • Repsol, atau Repost menulis lagi thread yang sama atau serupa (Kaskus; Indowebster)
  • AKA, (Also Known As) istilah lain Alias
  • Bata, reputasi jelek (umumnya di Kaskus)
  • Cendol, reputasi baik
  • BW, (Bandwidth) kecepatan akses
  • Admin, Administrator
  • Captcha, pemeriksaan keamanan untuk menghindari spam otomatis

Minggu, 19 September 2010

PUNGUTAN LAIR DIBALIK BIAYA ADMINISTRASI

Oleh: Rony Saputra, S.H.
[Penulis adalah seorang Advokat dan Staff LBH Padang Divisi HAM]
 Dua hal yang sebenarnya sangat berbeda, tetapi beberapa dekade ini menjadi kosa kata yang hampir sama, bagaimana tidak setiap berurusan dikantor-kantor pemerintah masyarakat selalu diminta biaya administrasi yang tidak jelas. Jika ditanya biaya untuk apa, jawabnya sederhana, buat beli kertas, biaya ketikan, biaya transportasi dan yang paling banyak adalah biaya stempel.
Seperti yang kita ketahui, bahwa biaya administrasi adalah biaya yang dikenakan terhadap masyarakat dengan jumlah dan jenis yang telah ditetapkan oleh Pemerintah/pemerintah daerah/Penjabat yang berwenang dalam suatu aturan/keputusan. Jika tidak ada penetapan dari penjabat yang berwenang maka setiap biaya yang dikenakan jatuh pada ranah pungutan liar (PUNGLI) atau jika dilakukan oleh pegawai negara atas uang negara maka dapat diketegorikan Korupsi yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 yang dirubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Fenomena diatas, hampir terjadi disetiap daerah di Indonesia, termasuk di Ranah yang berfalsafahkan ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’ ini. Apalagi akhir-akhir ini setelah pemerintah menaikkan harga BBM dan membagi-bagikan uang kompensasi berupa BLT kepada masyarakat miskin. Tidak jarang penjabat RT, RW, Lurah dan bahkan Walinagari melakukan pungutan liar berkedok ‘biaya administrasi sukarela’. Jelas apapun namanya ketika tidak ada aturan hukum maka apa yang dilakukan oleh para penjabat itu adalah Pungli alias Korupsi. Jika perbuatan itu dibiarkan saja, maka jangan berharap kalau ‘virus korupsi’ akat tetap menjamah di negeri ini.
Rendahnya pemahaman masyarakat akan korupsi ini juga menjadi lahan subur untuktumbuh dan berkembangnya virus korupsi itu sendiri, bahkan tidak jarang masyarakat sendiri dibenturkan oleh pihak-pihak tertentu agar korupsi menjadi sesuatu yang halal dan legal, bagaimana tidak dalam beberapa praktek didunia kepemerintahan sangat jarang aparat yang melakukan penilepan (Sulap) uang negara yang dijerat dengan pidana. Padahal jelas rumusan tindak pidana korupsi ditegaskan dalam UU No. 31 tahun 1999 yang dirubah dengan UU No. 20 tahun 2001 apabila berbuatan itu (1) merugikan keuangan negara, (2) adanya suap menyuap, (3) adanya penggelapan dalam jabatan, (4) adanya pemerasan, (5) adanya perbuatan curang, (6) adanya benturan kepentingan dalam pengadaan, dan/atau (7) Gratifikasi adalah tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsipun tidak pernah memandang jabatan, ras, agama, kepentingan, golongan atau suku, ketika setiap orang tersebut diduga melakukan setidaknya salah satu dari 7 (tujuh) jenis diatas, maka dapat diduga mereka telah melakukan Korupsi dan harus di tindak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Berdasarkan hal diatas, maka fenomena yang terjadi selama ini terutama persoalan ‘biaya administrasi sukarela’ terkait dengan penyaluran dana BLT untuk orang miskin juga harus ditindak oleh aparat hukum, apalagi ketika SBY menelorkan program bantuan dadakan ini, Kejaksaan Agung berjanji akan mengawal proses dan melakukan tindakan terhadap penyelewengan bantuan. Sehingga tidak ada alasan bagi penyalur (baik Ketua RT, Ketua RW, Lurah, Camat, Walinagari) untuk memungut ataupun menerima pemberian guna memperlancar penyaluran BLT.
Selain biaya administrasi sukarela yang dilancarkan dalam penyaluran BLT, sebenarnya masih banyak pungutan liar lain yang berkedok biaya administrasi. Misal dalam pengurusan KTP, Nikah, Akte Kelahiran, dan surat keterangan lain di kantor pemerintah, padahal jelas bahwa biaya administrasi telah ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ketika masyarakat mengurus, ternyata banyak muncul biaya tetek-bengek yang ketika diminta bukti pembayaran sipetugas mengelak dengan alasan “Sudah biasa”. Tidak sampai disitu, dalam urusan parkir memarkirpun pungutan liar juga terjadi, dikarcis yang telah disediakan tertera biaya parkir Rp.500,- tetapi ketika diberikan Rp. 500,- petugas parkir meminta Rp.500,- dengan alasan setiap orang membayar Rp. 1000,- Memang jumbah biaya pungli itu tidak banyak, jika tetap dibiarkan dan tidak ditindak maka benih-benih korupsi akan tetap ada.
Kejadian yang sangat memalukan kita adalah dipengadilan sendiripun praktek-praktek ‘biaya administrasi’ pun juga terjadi dengan terang-terangan. Misal dalam pengurusan perkara pidana yang jelas-jelas bebas dari segala pungutan, tetap juga dibiarkan. Bahkan ketika dilaporkan kepada atasan yang bersangkutan, jawaban klise yang muncul “sudahlah hitung-hitung membantu biaya pengetikan, tranportasi dan lain-lain”, singkat kata virus korupsi ternyata memang sudah menjadi penyakit kronik yang sudah tidak ada obatnya, bahkan walaupun telah dilakukan ESQ oleh Ginanjar, tetap saja tidak pernah terkikis, dan muncul lagi.
Lebih ironisnya, ketika Majelis hakim menjatuhkan vonis bagi “Para Koruptor” tidak jarang yang menyalahi aturan undang-undang ( UU No. 31 tahun 1999 yang dirubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi) jelas bahwa UU tersebut menerapkan sistem pidana minimum dan maksimum, namun majelis hakim malah menjatuhkan pidana dibawah sanksi minimum, semisal, seseorang terbukti bersalah melanggar pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 yang dirubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi maka seharusnya dihukum dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih, tetapi banyak putusan yang dijatuhkan malah 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun.
Sehingga jelas bahwa sebenarnya sampai saat ini, baik pemerintah maupun aparat termasuk masyarakat masih belum punya keinginan (setidak-tidaknya baru punya, itupun niat) untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Jika memang kita (bangsa ini) mau lepas dari jeratan utang dan mandiri maka mulai dari sekarang kita harus menggalakkan “gerakan perangi korupsi”. Dan menghentikan sifat kasihan dan iba terhadap pelaku (Koruptor) dengan alasan dia adalah mamak, pemuka masyarakat, tokoh politik, dan alasan-alasan lain yang berujung kepada semakin menjamurnya virus korupsi. ***

WEWENANG NEGARA DALAM HUKUMAN MATI

Oleh: Rony Saputra, S.H.
[Penulis adalah seoarang Advokat dan Staff LBH Padang Divisi HAM]
 Persoalan pidana mati sepertinya tidak akan pernah habis untuk diperdebatkan karena akan selalu mengundang pro dan kontra dengan berbagai argumen serta keahlian baik berdasarkan kajian filosofis, sosiologis maupun yuridis.
Di Indonesia sendiri pertarungan ahli yang sepakat dengan pidana mati dengan yang tidak sepakat dengan pidana mati juga telah lama terjadi dan kembali menguat pada tahun 2007 ketika terjadi eksekusi mati terhadap napi dengan label ‘Terpidana Mati’ diantaranya Robot Gedek terpidana mati kasus pelecehan seksual terhadap beberapa orang anak laki-laki lalu dibunuh, Ayodha Prasad Chabey warga India yang tertangkap membawa heroin seberat 12,5 Kg dari Bangkok menuju Indonesia dan Tibo Cs yang diduga menjadi pelaku terorisme di Sulawesi Tenggara. Protes masyarakat atas eksekusi mati ini tidak hanya persoalan tidak setuju dengan pidana mati, tetapi waktu yang begitu lama (lebih dari 10 Tahun) baru seseorang itu dieksekusi sehingga menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan. Lain halnya dengan kasus Tibo Cs, masyarakat berpendapat bahwa pengadilan telah salah memutus.
Wacana mengenai pidana mati di Indonesia kembali menghangat ketika Pemerintah Indonesia melalui eksekutor negara bernama Jaksa mengeksekusi mati tiga orang terpidana mati yaitu Dukun AS di Medan di eksekusi pada malam hari ketika pengacaranya mengajukan Grasi ke-2,Sumiarsih dan Sugeng dieksekusi ketika ia meminta kepada Negara untuk dipertemukan dengan Gusdur. Dan masih tersisa 40-an lebih calon orang-orang yang akan di cabut nyawanya oleh negera (daftar tunggu) termasuk didalamnya sang Fenomenal Amrozi Cs.
Pidana mati di Indonesia memang masih menjadi suatu pilihan yang wajib dilaksanakan, walaupun didalam pasal 28a UUD 1945 ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan dipertegas dengan pasal 28 I UUD 1945 berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Jelas UUD merupakan ketentuan tertinggi dalam suatu negara hukum di Indonesia dan tidak ada ketentuan lain yang dapat mengenyampingkannya. Tetapi pada kenyataannya Negara melalui pemerintah tetap melakukan ‘pembangkangan’ dengan jalan mendiskreditkan pasal 28 j UUD 1945 yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Pengertian yang dapat diambil dalam pembatasan pasal 28 j UUD sebatas memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Arti kata, apakah ketika seseorang melakukan pembuhuhan, pada dirinya juga harus dijatuhkan hukuman mati (dibunuh oleh negara), jika posisinya memang seperti itu, kenapa proses pemidanaan tidak diserahkan saja sesuai mekanisme hukum alam? (Darah bayar Darah).
Sebagai negara Hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat serta Hak Asasi Manusia, maka sudah sepatutnya, hukuman mati yang merupakan penjelmaan dari sifat balas dendam sudah harus dihapuskan, apalagi Indonesia yang tercatat sebagai anggota tidak tetap dewan PBB yang telah meratifikasi International Convenan Civil and Politic Right (ICCPR), seharusnya Indonesia sudah menghapuskan keberadaan hukuman mati dalam Kitab peraturan perundang-undangan.
Penegasan penghapusan pidana mati ini terdapat dalam protokol Opsional kedua yang ditujukan terhadap penghapusan pidana mati(Ditetapkan oleh resolusi Majelis Umum 44/128 tertanggal 15 Desember 1989), pada pasal 1-nya menyebutkan ayat (1) “Tidak seorangpun dalam wilayah hukum Negara-negara Pihak pada Protokol ini dapat dihukum mati”, ayat (2) “Setiap Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghapuskan hukuman mati di dalam wilayah hukumnya”.
Berkaitan dengan pembatasan terhadap pidana mati disebutkan pada pasal 2 yang berbunyi “Pembatasan tidak diperkenankan pada Protokol ini, kecuali pembatasan yang dilakukan pada saat ratifikasi atau aksesi yang mengatur tentang pemberlakuan hukuman mati pada saat perang, berdasarkan keyakinanbahwa suatu kejahatan militer telah dilakukan pada masa peperangan”.
Dengan diratifikasinya konvenan diatas, maka Indonesia harus telah menuju kepada penghapusan terhadap penggunaan instrumen pidana mati di setiap peraturan perundang-undangan yang ada. Sehingga tidak lagi memunculkan polemik baru dalam penerapan hukum terutama Pidana..
Dalam hukum positif Indonesia masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati misalnya Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden), Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang), Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang), Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut), Pasal 340 (pembunuhan berencana), Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati), Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati), Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian), beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya diantaranya Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa, Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi, Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No.. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, Pasal 13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi.
Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom, Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia dan UU Tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Salah satu ahli hukum Indonesia yang menjadi penentang pidana mati adalalah J.E Sahetapy Dalam desertasinya yang berjudul Suatu Studi Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, beliau memberikan hipotesa, (1) Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP dewasa ini dalam praktek merupakan suatu ketentuan abolisi de facto, (2) Acaman pidana mati dalam pasal 340 KUHP tidak akan mengenai sasarannya selama ada berapa faktor seperti lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga grasi, kebebasan hakim dan "shame culture" dan (3) Dari segi kriminologi sangat diragukan manfaat pidana mati
Berdasarkan hal itu, perlu dicermati bahwa dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang sangat mungkin terjadi kesalahan terutama oleh hakim, terlebih dalam keadaan penegakan hukum di Indonesia yang masih perlu dipertanyakan. Kita tidak bisa berharap sebuah keputusan yang adil dalam dunia peradilan yang masih korup.
Perlu dicatat sepanjang masih ada instrumen hukum yang memberikan ancaman pidana mati, maka sepanjang itu pula penjatuhan pidana mati dan potensi penolakan grasi oleh Presiden sangat terbuka. Oleh sebab itu sebaiknya perjuangan untuk menghapuskan pidana mati harus dibarengi dengan upaya untuk melakukan review terhadap seluruh instrumen hukum yang mencantumkan klausula ancaman pidana mati

SKENARIO KPK TANPA PENGADILAN TIPIKOR

Oleh: Andi Wahyu W
[Penulis adalah Praktisi dan Konsultan Hukum]
 Sistem Peradilan Pidana Khusus.
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki tiga fungsi utama dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama; fungsi pencegahan. Kedua fungsi; supervisi dan koordinasi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga; fungsi penindakan. Fungsi penindakan ini meliputi; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (pasal 6 huruf c UU KPK). Sebagai kelanjutan dari fungsi tersebut pembentuk undang-undang menetapkan adanya pengadilan tindak pidana korupsi (Pengadilan Tipikor) yang berwenang memutus perkara yang diajukan oleh KPK. (pasal 53 UU KPK). Ketentuan pasal 53 tersebut menegaskan bahwa hanya Pengadilan Tipikor yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK, selain Pengadilan Tipikor tidak ada pengadilan yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK. Jika pasal 6 huruf c UU KPK dikaitkan dengan pasal 53 UU KPK, nampak bahwa UU KPK menghendaki sistem peradilan pidana (penyidikan, penuntutan, pengadilan) yang khusus mengadili tindak pidana korupsi. Dua pasal tersebut juga menunjukan bahwa KPK sesungguhnya merupakan sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi.
Pembentuk Undang-Undang KPK memang berniat mengkonstruksikan suatu bangunan sistem peradilan pidana yang khusus tindak pidana korupsi. Niatan tersebut tidak lain sebagai upaya meneruskan visi dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat pegiat reformasi hukum. Visi dan aspirasi tersebut pada intinya, tidak mempercayai sistem peradilan pidana yang ada untuk memberantas tindak pidana korupsi. Padahal, korupsi telah terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas (Penjelasan UU No 20/2001).
Tanpa Pengadilan Tipikor.
Pengadilan Tipikor terancam bubar secara hukum karena putusan Mahkamah Konstutusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, yang memerintahkan pembentuk undang-undang agar paling lambat tiga tahun membentuk undang-undang tentang pengadilan Tipikor. Dengan demikian, status konstitusionalitas Pengadilan Tipikor lebih terjamin. Sementara ini keberadaan Pengadilan Tipikor diatur “dalam undang-undang” yaitu Pasal 53 UU KPK, padahal keharusan konstitusi menyatakan keberadaan badan peradilan di bawah MA diatur “dengan undang-undang” (lihat Pasal 24A UUD 1945). Inilah peraturan perundang-undangan, hanya beda kata “dalam” dengan kata “dengan” menimbulkan implikasi serius, padahal hakekatnya sama yaitu berdasarkan undang-undang dan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur pembentukan badan peradilan dibawah MA. MK melalui putusan tersebut diatas, telah menyeimbangkan aspek kepastian hukum (rechmatigheid) dengan kemanfaatan hukum (doelmatigheid). MK. Pada satu sisi MK mengajak untuk berdisplin dalam berkonstitusi dan pada sisi lain (kepastian hukum), MK memberikan tenggat waktu berlakunya Pengadilan Tipikor (kemanfaatan hukum).
Jika tenggat waktu tiga tahun telah habis, secara demi hukum, Pengadilan Tipikor bubar. Bubarnya Pengadilan Tipikor membawa akibat hilangnya fungsi KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi. KPK tidak lagi bisa melakukan penindakan dalam bentuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, karena tiga kegiatan tersebut tidak ada lagi pengadilan yang bisa memutus perkara hasil kerja penindakan oleh KPK. KPK kemudian hanya bisa menjalankan fungsi yang lain, yaitu supervisi dan koordinasi serta pencegahan. Pertanyaannya, apakah sistem peradilan pidana sudah sepenuhnya bisa terpercaya melakukan proses peradilan pada pelaku tindak pidana korupsi ? Apakah efektif dua fungsi KPK selain fungsi sistem peradilan pidana untuk pemberantasan tindak pidana korupsi ? Sekaligus, mengapa DPR sebagai pembentuk undang-undang belum juga membuat Undang-Undang Tipikor sementara tenggat waktu sudah mau habis, tinggal hitungan bulan.
Pertanyaan diatas perlu dijawab oleh DPR RI sebagai pembentuk undang-undang. Apakah langkah DPR tidak segera membentuk Undang-Undang Tipikor merupakan pernyataan politik secara tidak langsung yang menjawab dua pertanyaan diatas. Apakah langkah DPR tersebut merupakan sinyal sikap DPR bahwa dua fungsi KPK selain KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus sudah cukup bagi KPK dan sistem peradilan pidana yang ada sudah terpercaya untuk melakukan proses pada pelaku tindak pidana korupsi. Jika benar sikap DPR seperti itu, berarti ada politik hukum pembentuk undang-undang yang menghendaki KPK tanpa Pengadilan Tipikor. Meskipun Presiden bisa mengeluarkan Perpu Pembentukan Pengadilan Tipikor sebagai ganti UU yang tidak keluar, namun Perpu tersebut juga akan batal jika DPR pada tiba waktu menolak Perpu tersebut. Jadi persoalannya adalah sikap politik hukum pembentuk undang-undang, apakah menghendaki fungsi sistem peradilan pidana pada KPK atau tidak.
Skenario Alternatif.
Jika kita andaikan sikap pembentuk undang-undang memang tidak berkehendak adanya fungsi KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus, Perpu bukanlah solusi karena Perpu tersebut akan bisa dibatalkan oleh DPR (lihat Pasal 22 UUD 1945). Harus ada solusi lain. Solusi alternatif adalah mencegah kemudloratan yang lebih besar, dengan mencari jalan tengah antara kehendak KPK tanpa Pengadilan Tipikor dengan KPK harus tetap berfungsi sebagai sistem peradilan pidana. Caranya, dengan mengamandemen pasal 53 UU KPK. Dalam amandemen tersebut, pengadilan umum bisa memutus perkara yang diajukan oleh KPK. Dengan demikian, KPK separuh dirinya, masuk dalam sistem peradilan pidana yang sudah ada. Kita masih bisa berharap mendapatkan putusan yang baik mengingat hakim agung telah terseleksi secara transparan dan akuntabel. Meskipun cara ini merupakan kemunduran politik hukum pemberantasan korupsi, tapi ya itulah, bad politic bad law

HUKUM PIDANA, SUMBER,ASAS,PEMBAGIAN DELIK,JENIS-JENIS PIDANA

Hukum pidana

Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.[1]

Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk [2]:
  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.[2]
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.[2]
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[2]

Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.[3]

Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melaikan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.[3]

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Sumber-Sumber Hukum Pidana

Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis.[4]Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.[3] Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain[4] :
  1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).[4]
  2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).[4]
  3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).[4]

Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain[3] :
  1. UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.[3]
  2. UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.[3]
  3. UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme.[3] dll

Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.[3]

[sunting] Asas-Asas Hukum Pidana

Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Perturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP).[rujukan?] Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP) Dan Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.[4]

[sunting] Macam-Macam Pembagian Delik

Dalam hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik ke dalam[5] :
  1. Delik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya, sengaja merampas jiwa orang lain (Pasal 338 KUHP) dan delik yang disebabkan karena kurang hati-hati, misalnya, karena kesalahannya telah menimbulkan matinya orang lain dalam lalu lintas di jalan.(Pasal 359 KUHP).[5]
  2. Menjalankan hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang, misalnya, melakukan pencurian atau penipuan (Pasal 362 dan378 KUHP) dan tidak menjalankan hal-hal yang seharusnya dilakukan menurut Undang-undang, misalnya tidak melapor adanya komplotan yang merencanakan makar.[5]
  3. Kejahatan (Buku II KUHP), merupakan perbuatan yang sangat tercela, terlepas dari ada atau tidaknya larangan dalam Undang-undang. Karena itu disebut juga sebagai delik hukum.[5]
  4. pelanggaran (Buku III KUHP), merupakan perbuatan yang dianggap salah satu justru karena adanya larangan dalam Undang-undang. Karena itu juga disebut delik Undang-undang.[5]

[sunting] Macam-Macam Pidana

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut :
Hukuman-Hukuman Pokok
  1. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.[5]
  2. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara.[5] Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.[4]
  3. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran.[rujukan?] Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda.[rujukan?] Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian.[5]
  4. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. [5] Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.[4]
  5. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.[5]

Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain :
  1. Pencabutan hak-hak tertentu.[5]
  2. Penyitaan barang-barang tertentu.[5]
  3. Pengumuman keputusan hakim.[5]

PERLINDUNGAN ANAK UNTUK TIDAK DI PENJARAAN

Oleh: Lucky Raspati, SH.MH
[Penulis adalah Staf Pengajar Bagian Hukum Pidana FH Universitas Andalas Padang]
 Dengan muka ditutupi topeng, 10 orang anak, terdakwa pelaku tindak pidana perjudian menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang, sebelumnya mereka di tahan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang selama hampir sebulan (kompas, Rabu, 15 Juli 2009). Kesepuluh anak ini kemungkinan besar akan menambah menambah daftar panjang anak yang dipenjarakan karena melakukan pelanggaran terhadap delik-delik yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) Indonesia. Sekedar ilustrasi, di tahun 2003, menurut hasil sebuah penelitian, lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan seperti pencurian dan perkelahian. Sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. (Steven Allen:2003).
Anak Nakal
Persoalan anak sebagai pelaku tindak pidana merupakan suatu permasahan yang polemistis sifatnya. Dikatakan demikian karena anak sebagai pelaku tindak pidana sesungguhnya juga merupakan korban dari tindak pidana itu sendiri. Pemikiran ini berangkat dari asumsi dan pemahaman bahwa pada diri seorang anak terdapat kecenderungan jiwa yang labil. Kecenderungan ini dalam aplikasinya seringkali diwujudkan kedalam perilaku kritis, agresif atau bahkan menunjukkan sikap yang anti sosial, dimana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, khususnya keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Dengan karakteristik unik tersebut maka di negara-negara yang telah mapan sistem hukumnya, persoalan pidana dan pemidanaan terhadap anak mendapatkan perhatian yang sangat serius dari negara. Di Amerika Serikat misalnya, terhadap pelanggaran norma hukum pidana, kesusilaan, dan ketertiban umum apabila dilakukan oleh orang yang berusia usianya di bawah 21 tahun disebut dengan kenakalan (deliquency). Baru apabila pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang berusia 21 tahun keatas perbuatannya dinamakan kejahatan (crime).Dari hal ini nampak jelas, bahwa dalam tahapan penegakan hukum di tingkat penyelidikan dan penyidikan, dan penuntutan sudah diusahakan untuk menghindari pemberian stigma tersangka atau terdakwa bagi anak nakal.
Disamping itu, kalaupun hukum pidana tidak dapat lagi dielakkan maka terhadap anak nakal haruslah dipenuhi segala kebutuhan hak-hak anak, seperti pendampingan pengacara, psikolog dan lain-lain yang sifatnya memberikan perlindungan kepada anak nakal dari “ganasnya” penerapan sanksi pidana.
Pengklasifikasian kejahatan dan kenakalan dalam konteks hukum pidana pada dasarnya merupakan titik pijak terhadap dua masalah penting dalam hukum pidana, yaitu; perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Pidana Sebagai Pengancam!
Dalam buku the limits of criminal sanction (1968) Herbert L. Packer mengemukakan bahwa sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana, karena sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Tetapi meskipun demikian sanksi pidana bisa menjadi “pengancam yang utama” apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.

Frasa sembarangan dan secara paksa yang dikatakan oleh Packer dalam hukum pidana ditujukan kepada dua hal, yaitu tentang norma hukum apa yang dilanggar (hukum pidana materiel) dan bagaimana cara menegakkan hukum terhadap tindakan tersebut (hukum pidana formil).
Terkait dengan kriminalisasi anak, secara normatif mengacu kepada UU yang terkait dengan Anak. Dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang mengatakan bahwa anak nakal adalah : pertama, anak yang melakukan tindak pidana, atau kedua, anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sementara proses penanganan anak nakal dan penegakan hukumnya diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebagai bagian hukum formil, tentang bagaimana cara menerapkan hukum materiel, penanganan dan penegakan hukum terhadap anak nakal terikat dengan ketentuan pasal 16 (ayat 3), UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan secara tegas bahwa dalam hal penangkapan, penahanan, atau tindak pidana, penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
Sayangnya, seringkali norma hukum formil yang seharusnya menjadi acuan tentang bagaimana dan dengan cara apa penanganan dan penegakan hukum terhadap anak harus dilakukan seringkali diabaikan sedemikian rupa oleh aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) sehingga terkesan sanksi pidana menjadi hal yang utama (primum remedium). Kasus penahanan dan pesidangan raju dan juga kesepuluh anak di tanggerang merupakan contoh konkrit bagaimana hukum pidana diwujudkan sebagai pengancam yang utama.
Dari kejadian-kejadian tersebut nampak secara jelas bahwa aparat penegak hukum kurang memperhatikan arti penting substansi UU Perlindungan Anak, yakni mencegah perlakuan buruk terhadap anak. Padahal penting untuk digarisbawahi bahwa penegakan hukum terhadap anak nakal terikat dengan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai ketentuan hukum khusus (lex specialis).
Kedepan, seharusnya aparat penegak hukum lebih bijak dalam memahami dan memaknai kasus-kasus anak nakal, tidak semua tindak pidana menurut ketentuan perundang-undangan (khususnya KUHP) bisa serta merta diterapkan kepada seorang anak, meskipun secara rumusan delik, unsur perbuatannya terpenuhi. Harus dipilah dan dipilih, dalam hal apakah ketentuan hukum pidana bisa diterapkan dalam kapasitasnya sebagai primum remedium atau ultimum remedium.

SEJAUHMANAKAH WEWENANG JAKSA DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI

Oleh: Paustinus Siburian, SH., MH.
[Penulis adalah Advokat dan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual]
 ABSTRAK 
Barang siapa yang, setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK, maka orang itu pasti telah salah membaca undang-undang. Pembacaan yang teliti terhadap Pasal 263 KUHAP menunjukkan bahwa jaksa diberikan hak untuk mengajukan PK. Namun KUHAP juga memberikan batasan dalam hal apa jaksa dapat mengajukan PK, yaitu dalam hal ada putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalam pertimbangannya menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan. Jadi tidak terhadap semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap jaksa berhak mengajukan PK.
Dalam tulisan ini disarankan agar dilakukan koreksi secepatnya atas praktek hukum dan dicarikan upaya mengatasi kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang dalam putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum dinyatakan tidak bersalah tetapi kemudian dipidana karena adanya PK oleh jaksa. Disarankan juga agar Presiden, selaku Kepala Negara, meminta maaf kepada para korban PK jaksa dan seluruh rakyat Indonesia atas kesalahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan jaksa-jaksa penuntut umum dalam perkara-perkara PK yang diajukan oleh jaksa.
1. Pendahuluan
Pertanyaan yang terus menerus diajukan sejak tahun 1996 adalah apakah jaksa dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah mempunyai hukum yang tetap. Pertanyaan ini muncul karena pada tahun 1996, untuk pertama kalinya, jaksa mengajukan permohonan PK dalam perkara dengan terdakwa, Mochtar Pakpahan, seorang aktivis buruh pada masa itu. Sejak itu Jaksa secara terus menerus mengajukan PK. Tidak dalam semua kasus yang diajukan jaksa memenangkan PK. Mahkamah Agung (MA) bersikap mendua mengenai hal ini. Ada majelis MA yang menyatakan jaksa tidak berhak mengajukan PK, ada yang menyatakan jaksa dapat mengajukan PK.
Dalam putusan PK dimana MA menerima permintaan PK dari jaksa, MA menyatakan menciptakan hukum karena KUHAP tidak mengaturnya. Dalam Negara v Muchtar Pakpahan, sebagaimana dikutip dalam Negara v Pollycarpus (PUTUSAN No. 109 PK/Pid/2007) , MA misalnya menyatakan: “Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana.”
Dalam hal MA tidak dapat menerima permohonan jaksa, MA menyatakan bahwa MA tidak berwenang memutuskan mengenai PK. Dalam Negara v H. MULYAR bin SAMSI (Putusan MA No84PK/Pid/2006 Tahun 2006), MA menyatakan bahwa PK Jaksa tidak dapat diterima dengan alasan:
Bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauankembali kepada Mahkamah Agung;
Bahwa ketentuan tersebut telah mengatur secara tegas dan limitative bahwa yang dapat mengajukan peninjauankembali adalah Terpidana atau ahli warisnya. Hal ini berarti bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauankembali.
Dengan adanya ketentuan yang tegas dan limitatif tersebut, tidak diperlukan lagi ketentuan khusus, yang mengatur bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauankembali;
Bahwa “due proses of law” tersebut berfungsi sebagai pembatasan kekuasaan Negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat, dan bersifat normatif, sehingga tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat disimpangi, karena akan melanggar keadilan dan kepastian hukum ;
Menimbang, berdasarkan hal-hal tersebut disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan peninjauankembali atas putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya apa yang dimohonkan oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan kesalahan dalam penerapan hukum acara, sehingga permohonan peninjauan kembali yang dimajukan oleh Jaksa Penuntut Umum haruslah dinyatakan tidak dapat diterima;
Pertimbangan-pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh dua majelis pada MA tentu membingungkan, yang mana yang harus diikuti. Hal ini tentu akan menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. MA, sebagaimana pertimbangan-pertimbangan hukum yang diajukan di atas menunjukkan, ternyata tidak satu. Putusan Majelis yang satu belum tentu diikuti oleh Majelis yang lain.
Tulisan ini akan membahas mengenai dasar hukum dari jaksa dalam mengajukan PK dan setelah menemukan dasar hukumnya maka akan dibahas mengenai batasan-batasan dalam mengajukan PK sebagaimana diatur dalam KUHAP. Dalam membahas mengenai PK oleh jaksa ini, saya hanya menggunakan bahan hukum primer, yaitu undang-undang dan Putusan-putusan MA. Putusan MA yang saya gunakan dalam tulisan ini dapat diakses pada situs web dari Mahkamah Agung. Alasan tidak menggunakan bahan sekunder adalah karena dalam pertimbangan hukumnya MA membuat rujukan pada bahan hukum sekunder.

2. Tinjauan Atas Pasal 263 KUHAP
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.” Ketentuan ini memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan digunakannya kata terpidana atau ahli warisnya menandakan bahwa dalam putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan tetap yang dimintakan peninjuan kembali, seseorang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana atau ada pemidanaan.
Dikecualikan dari hal-hal yang tidak dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Perumusan dalam Pasal 263 ayat (1) ini memang agak sedikit kacau. Yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak ada terpidana. Maka adanya klausul “kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum” sangatlah tidak masuk akal ditempatkan dalam ayat tersebut.
Kalau kemudian jaksa mengajukan peninjauan kembali, menjadi layak karena adanya klausul “kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum”. Jaksa dapat berpikir bahwa yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) adalah Peninjuan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan peninjauan kembali tetapi tidak diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut. Dimana diaturnya, jaksapun tidak tahu dan hal ini berarti ada kekosongan hukum. MA, dari perspektif jaksa, berpikir bahwa MA dapat mengisi kekosongan tersebut melalui ketentuan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai dalam masyarakat dan MA memang melakukannya dalam Negara v Muchtar Pakpahan dan lain-lain.
Bahwa jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali mendapat landasannya dalam Pasal 263 ayat (3). Pasal 263 ayat (3) tersebut menyatakan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” Ayat (3) ini merupakan landasan hukum bagi jaksa dalam mengajukan PK atas putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Persyaratan dalam Pasal 263 ayat (3) “……………. apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti dengan pemindanaan” menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (3) tidak ditujukan bagi Terpidana karena dalam konteks Pasal 263 ayat (3) memang tidak ada yang disebut “Terpidana”. Tidak ada “terpidana” tanpa adanya “pemidanaan”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pasal 263 ayat (1) ditujukan untuk PK bagi Terpidana atau ahli warisnya. Yang diajukan PK menurut Pasal 263 ayat (1) adalah terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang isinya “pemidanaan”. Pasal 263 ayat (3) adalah PK yang diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tidak berisi pemidanaan. Karena tidak ada pemidanaan maka tidak ada terpidana dan oleh karenanya tidak ditujukan bagi Terpidana atau ahli warisnya yang memang tidak ada.
MA dalam putusan PK dalam Negara v Pollycarpus telah keliru ketika menyatakan:
2. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu: 
a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP ;
b. Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan” tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;
Menyangkut butir 2.a dari pertimbangan MA tersebut, MA jelas keliru karena ketentuan Pasal 263 ayat (1) itu adalah untuk Terpidana atau Ahli warisnya. Logika MA juga keliru ketika menyatakan “…….sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging”, karena memang tidak ada terpidana dalam putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Sedangkan butir 2.b dari pertimbangan tersebut kekeliruan MA dalam menafsirkannya lebih parah. MA menyatakan “…………..tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan,…..”. Sebagaimana saya sebutkan di atas, dalam konteks Pasal 263 ayat (3) tidak ada “terpidana”, karena kondisinya adalah “…tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”.
Sebenarnya dalam putusan dalam Negara v Muchtar Pakpahan, sebagaimana dirujuk oleh MA dalam Negara v Pollycarpus, MA sudah nyaris benar ketika menyatakan:
3. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemindanaan dapat dirubah dengan diikuti pemindanaan terhadap terdakwa;
Namun MA melihat Pasal 263 ayat (3) KUHAP itu ditujukan kepada jaksa oleh karena JPU adalah “pihak yang berkepentingan”. Persoalannya dalam Pasal 263 ayat (3) bukan soal siapa yang “paling berkepentingan” tetapi Pasal 263 ayat (3) itu pada dirinya memang ditujukan untuk jaksa. Dalam perkara pidana hanya ada dua pihak yang berhadap-hadapan di depan hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa. Terdakwa yang dinyatakan bersalah dan ada pemidanaan adalah Terpidana. Dengan dinyatakan “paling berkepentingan” seolah-olah ada pihak lain yang berkepentingan dengan kondisi yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat (3) tersebut.
Lagipula, secara logis, jika KUHAP hanya mengatur PK oleh Terpidana atau ahli warisnya, untuk apa lagi dibuat ketentuan Pasal 263 ayat (3). Pasal 263 ayat (1) sudah cukup untuk menampung keperluan terpidana atau ahli warisnya.
Dengan demikian adalah merupakan kesalahan membaca undang-undang jika ada yang menyatakan bahwa KUHAP tidak mengatur mengenai hak atau wewenang dari jaksa untuk mengajukan PK. Sebagaimana sudah saya tuliskan di atas, KUHAP memang memberikan Hak bagi jaksa untuk mengajukan PK, sekalipun tidak secara nyata disebutkan kata “jaksa penuntut umum”.

3. Putusan Bebas dan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Dalam Pasal 263 ayat (1) kedua istilah hukum tersebut muncul dalam rumusan “…..,, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,…..”. Dalam Pasal 263 ayat (3) kedua istilah hukum itu tidak muncul. Kata-kata yang muncul adalah “……………………apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. Apakah Putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum termasuk dalam apa yang disebut dalam Pasal 263 ayat (3) “…..tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”?
Dalam kedua macam putusan, yaitu putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak ada pemidanaan. Dengan demikian jika dalam putusan bebas hakim menyatakan suatu perbuatan yang didakwakan terbukti maka putusan semacam itu dapat diajukan PK. Demikian juga halnya dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dimana perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti tetapi ada alasan-alasan tertentu yang membuat hakim tidak menjatuhkan pidana, maka jaksa dapat mengajukan PK.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHAP tidak hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan peninjauan kembali tetapi juga jaksa. Tentu alasan untuk mengajukan peninjauan kembali adalah berbeda antara apa yang diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dengan yang diajukan oleh jaksa.
4. Alasan untuk mengajukan peninjauan kembali
Pasal 263 ayat (2) memuat daftar dasar yang dapat diajukan untuk melakukan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya.
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; 
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Bagi jaksa terdapat alasan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (3) sebagaimana telah disinggung di atas, yaitu apabila putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap itu menyatakan bahwa suatu perbuatan yang sudah didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan. Hal ini tentu karena mungkin ada kekhilafan hakim, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) butir c.
Kata-kata yang digunakan pada awal Pasal 263 ayat (3) seolah-olah menunjukkan bahwa semua alasan yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat (2) akan berlaku bagi PK oleh Jaksa. Namun demikian, alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 263 ayat (2) butir a dan b tidak berlaku bagi jaksa. Hanya butir c dari Pasal 263 ayat (2) yang berlaku bagi jaksa untuk mengajukan PK sesuai Pasal 263 ayat (3).
Dalam Negara v Pollycarpus misalnya, jaksa mengajukan novum. Jaksa membolakbalik ketentuan dalam Pasal 263 ayat (2) butir a. Malangnya, MA dalam PK malah menerima novum yang diajukan oleh jaksa tersebut. Dalam Negara v Pollycarpus, Majelis PK MA menyatakan:
“Sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP, salah satu alasan diajukannya peninjauan kembali adalah apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, maka hasilnya akan menjadi putusan menjadi berbeda”
Pasal 263 ayat (2) butir a yang mengatur mengenai dasar mengajukan PK adalah untuk Terpidana dan bukan untuk Jaksa. MA mengubah Pasal 263 ayat (2) butir a KUHAP ketika menyatakan “….., maka hasilnya akan menjadi putusan menjadi berbeda”. Ini merupakan penyimpangan yang nyata yang dilakukan oleh MA.
Ini tentu aneh mengingat ketentuan dalam Pasal 263 ayat (3) secara jelas membatasi hanya terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalamnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan.
Jika dibaca sesuai Pasal 263 ayat (3) maka jaksa dapat mengajukan PK terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang tidak berupa pemidanaan karena dalam putusan dinyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan sudah terbukti tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan yang dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dari hakim. Jadi jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau dalam putusan bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti.
5. Pembatasan
Sesuai dengan uraian-uraian di atas maka hak jaksa untuk mengajukan PK sangat terbatas, yaitu hanya terhadap putusan yang dalam pertimbangannya hakim menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau:
1. Putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu ternyata ada pemidanaan.
2. dalam putusan bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti;

Pengajuan PK oleh Jaksa selama ini tentulah melanggar KUHAP. Maka putusan PK MA dalam Negara v Muchtar Pakpahan, dan Negara v Pollycarpus dan lain-lain merupakan kecelakaan atau bahkan dosa-dosa hukum MA terhadap korban-korban PK jaksa dalam kasaus-kasus tersebut.
6. Penutup
Sesuai dengan uraian-uraian yang disebutkan di atas maka sebagai kesimpulan penutup adalah bahwa menurut KUHAP, jaksa berhak atau dapat mengajukan PK tetapi hanya terbatas pada putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dalam pertimbangan hukumnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan suatu pemidanaan.
Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi terhadap praktek hukum yang ada dan melakukan perbaikan-perbaikan dimana perlu di kalangan hakim, jaksa, dan advokat untuk mengatasi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan dalam proses hukum semenjak munculnya kasus PK oleh jaksa.
MA, Jaksa Agung, dan PERADI, sebagai organisasi yang didirikan dan berfungsi mengemban amanat UU Advokat, harus bersama-sama mencari sarana hukum yang mungkin untuk membebaskan mereka yang kemudian dipidana setelah sebelumnya menurut putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tidak dipidana. Disarankan juga agar Presiden, selaku Kepala Negara, meminta maaf kepada para korban PK jaksa dan seluruh rakyat Indonesia atas kesalahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan jaksa-jaksa penuntut umum dalam perkara-perkara PK yang diajukan oleh jaksa.